KONTAK SAYA

Email Twitter Facebook

TELUSURI

GALERI FOTO

Kategori Arsip Daftar Isi

MULAI DARI SINI

Pelayanan Portfolio Pembayaran

Kamis, 04 Agustus 2011

DILEMA NEGARA PANCASILA

Pemikiran masterpeace NU tentang "hubungan agama dan negara" muncul ketika rezim Orde Baru berada pada puncak kejayaan kekuasaannya, dekade 1980an, memiliki kebutuhan mendasar untuk mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara dan satu-satunya asas bagi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Kebutuhan ini tentu saja menimbulkan kontroversi paradigmatik yang luar biasa di kalangan semua komponen bangsa, terutama umat Islam: antara mengikuti kehendak politik Orde Baru atau tetap menjadi pendukung penegakan "negara Islam". Ini sebuah dilema besar bagi bangsa Indonesia yang dalam kenyataannya terdiri dari ribuan pulau, ratusan etnis dan bahasa, dan puluhan agama, sementara mayoritas penduduknya beragama Islam di mana gagasan mendirikan ‘negara Islam' masih belum pupus dari cita-cita sejumlah gerakan organisasi atau kelompok Islam.

Dilema ini terus berlanjut, meski Pancasila telah ditetapkan sebagai satu-satunya asas dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, tetapi begitu rezim Orde Baru tumbang dari kekuasaannya, gagasan pendirian "negara Islam" muncul kembali. Ini terjadi beberapa bulan saja dari tanggal kejatuhan rezim Orde Baru, 21 Mei 1998.

Dalam derasnya arus demokrasi paska kejatuhan Orde Baru, gerakan Islamis kembali memainkan peran politik identitas. Tidak saja secara leluasa mendirikan partai politik dan organisasi massa berasaskan (berideologikan) Islam, sesuatu yang dilarang pada zaman Orde Baru, tetapi juga secara terang-terangan menyuarakan aspirasi lamanya memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945. Desakan kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" untuk menggantikan Pasal 29 UUD 1945 disampaikan pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, dan Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 dalam paket Amandemen UUD 1945.

Diusung Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) dalam sidang MPR serta didukung sejumlah kelompok Islamis, seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Front Pembela Islam, dan Kongres Umat Islam, aspirasi mereka menjadi bahan perbincangan nasional, baik dalam gedung DPR/MPR maupun dalam sidang publik. Meskipun gagal pada Sidang Tahunan MPR 2000,  mencermati perjuangan mereka yang terus menerus dengan berbagai strategi, aspirasi mendirikan negara Islam dan penegakan syari'at Islam tampaknya tetap menjadi agenda yang terus diperjuangkan dengan memanfaatkan segala jenis peluang, termasuk demokrasi.

Di sinilah, politik indoktrinasi Orde Baru yang mengideologisasikan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara melalui program P4 dalam kehidupan bangsa dan negara tampaknya gagal. Pencarian penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara dalam pendekatan keagamaan menjadi penting dilakukan, karena gerakan Islam selalu mendasarkan pemikiran politiknya dari pemikiran keagamaan.

Seperti berkali-kali disampaikan bahwa bagi organisasi NU sebetulnya diskusi tentang relasi agama vis-a-vis negara, atau Islam vis-a-vis Pancasila, sudah selesai. Keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 telah mengakhiri perdebatan ini. Muktamar yang yang berlangsung tanggal 8-12 Desember 1984 itu mengukuhkan keputusan Musyawarah Alim Ulama Nasional NU 1983 yang memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan mengembalikan NU menjadi organisasi sosial keagamaan (jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah) sesuai dengan Khittah NU 1926.  Melalui forum keagamaan kultural Bahstul Masa'il, ulama NU menemukan rumusan yang meyimpulkan tentang relasi Islam dan Pancasila dari perspektif keagamaan, khsususnya pendekatan fiqh.

NU adalah organisasi sosial keagamaan pertama yang menuntaskan penerimaaannya atas ideologi Pancasila.  NU bukan hanya pertama menerima, tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila. Muhamadiyyah menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas setelah terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan "Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam." Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari pembahasan keagamaan (bahtsul masa'il) ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu berbunyi sebagai berikut :
  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari'ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'at agamanya.
  5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua fihak.
Dalam deklarasi itu jelaslah bahwa NU mengakui dan mendukung penuh Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia, yang pengamalannya bisa menjadi perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syari'at agamanya. NU dengan tegas dan jelas memisahkan antara negara dengan agama. Pancasila adalah dasar negara, bukan dasar agama. Keberadaan Pancasila tidak dapat menggantikan agama atau dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Meski begitu, bukan berarti agama tidak berurusan dengan negara.

Dalam Deklarasi itu malah dinyatakan bahwa adalah kewajiban NU-atau dengan kata lain kewajiban umat beragama--untuk mengamankan tafsir yang benar tentang Pancasila dan sekaligus pengamalannya yang murni dan konsekuen agar sesuai dengan upaya umat Islam Indonesia dalam menjalankan syari'at agamanya. Ini artinya NU memposisikan agama sebagai landasan moral-etik bagi negara agar negara tetap berada dalam kontrol agama untuk menegakkan keadilan dan selalu berorientasi pada kesejahteraan dan kemaslahatan rakyatnya.

Deklarasi ini sekali lagi menjelaskan posisi agama dan negara yang terpisah, tetapi secara relasional mempunyai simbiosa yang mutualistik dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, kerahmatan, dan pembebasan bagi umat manusia.
Keputusan penting dan mendasar ini banyak diilhami oleh pemikiran K.H. Achmad Shiddiq, Rais Aam Syuriyah PBNU 1984-1991. Pemikiran Kyai Achmad Shiddiq ini sekaligus juga merupakan argumen teologis dan fiqhiyyah atas sikap keagamaan NU terhadap kenyataan negara-bangsa modern dewasa ini. Beberapa simpul pemikiran  Kyai Achmad Shiddiq yang utama adalah sebagai berikut:
  1. Mendirikan negara dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan duniawy wajib hukumnya.
  2. Kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sah dan mengikat semua pihak termasuk Islam.
  3. Hasil dari keputusan yang sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya.
Ditelusuri lebih jauh, seperti termaktub dalam makalahnya, pemikiran Kyai Achmad Shiddiq ini dilatari oleh dua landasan yang berkait, yaitu: Pertama, landasan historis. Dinyatakan bahwa umat Islam tidak pernah absen dalam perjuangan menolak penjajahan dan menegakkan serta mengisi kemerdekaan. Umat Islam senantiasa berada dalam garda terdepan dalam mengusir penjajah dan mengisi kemerdekaan yang diperolehnya.
Kedua, landasan hukum. Bahwa Allah SWT telah mewajibkan amar ma'rûf nahy munkar bagi umat manusia. Kewajiban ini tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa adanya kekuatan dan imamah (kepemimpinan politik) yang kuat dan mendukung. Atas dua landasan inilah, maka mendukung negara Pancasila menjadi wajib hukumnya sebagai konsekuensi dari perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam di masa lalu.

Konsekuensi dari penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas ini, seperti juga ditegaskan oleh Kyai Achmad Shiddiq, memberikan arti bahwa wujud negara Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya merupakan upaya final seluruh bangsa, terutama kaum Muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara.
Nalar ideologi dan kebangsaan ulama NU ini sebetulnya tidak muncul secara tiba-tiba. Sejak perang kemerdekaan hingga perkembangan sosial politik dewasa ini, yakni dalam menghadapi dua arus utama yang bertolak belakang antara menjadikan Islam sebagai dasar negara dan menolak Pancasila sebagai ideologi tunggal ini, NU selalu mengambil jalan tengah (tawassuth) dan peran strategis dalam pembentukan negara dan karakter bangsa.

Evolusi Pemikiran NU tentang Negara Pancasila
Dua bulan setelah Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya, tepatnya tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH. M. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa "Resolusi Djihad" yang mewajibkan setiap orang (fardlu ‘ain) dalam radius 94 km untuk melakukan jihâd fiy sabîlillâh melawan Tentara Sekutu dan NICA. Tentara Sekutu  saat itu tiba kembali di Tanah Air untuk menjajah setelah kemerdekaan RI. Fatwa ini kemudian dikukuhkan sebagai Keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946. Keputusan Muktamar itu secara lengkap berbunyi:
[1] Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang-orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak (bagi orang jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh). [2] Bagi orang-orang jadi berada diloear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep, kalau dikerdjakan sebagian sadja). [3] Apa bila kekoeatan dalam No. 1 beloem dapat mengalahkan moesoeh, maka orang-orang jang berada diloear djarak lingkaran 94 Km. wadjib  berperang djoega membantoe No. 1 sehingga moesoeh kalah. [4] Kaki tangan moesoeh adalah pemetjah kegoelatan teqat dan kehendak ra'jat dan haroes dibinasakan, menoeroet hoekoem Islam saba Chadist, riwajat Moeslim.
Keputusan Muktamar ini merupakan dukungan politik keagamaan NU yang sangat berani  dan mampu mempengaruhi semangat rakyat untuk mempertahankan bentuk baru negara Indonesia yang diproklamasikan, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Resolusi Jihad inilah tampaknya yang menyulut semangat arek-arek Jawa Timur dan Boedi Oetomo membabi buta melawan Tentara Sekutu dan NICA di Surabaya pada 10 November 1945-yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan.

Kerangka berfikir NU yang sangat nasionalis dalam membela negara Indonesia bahkan ditemukan jauh sebelum kemerdekaan. Dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin, 9 Juni 1935, NU telah memberikan status hukum negara Indonesia yang saat itu masih dikuasai oleh Pemerintah Penjajah Belanda dengan "dar al-Islam" (negeri Islam). Argumentasinya adalah meskipun saat itu Indonesia masih dikuasai oleh Penjajahan Belanda, tetapi dalam sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam dan orang Islam dapat secara bebas menjalankan syari'at keagamaannya. Dalam Muktamar ke-11 itu muncul pertanyaan:
"Apakah nama negara kita menurut syara' agama Islam?" Keputusan Muktamar menyatakan: "Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama negara Islam tetap selamanya." Argumen fiqhnya diambilkan dari Kitab Bughyatul Mustarsyidin, pada Bab Hudnah wal Imâmah. Dalam teks kitab itu disebutkan "..... fa ‘ulima anna ardla batawiy (Jakarta) bal wa ghâlib ardli jâwâ dâru islâmin li istîlâ'i al-muslimîna ‘alayhâ qabl al-kuffâr.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara untuk bisa dikategorikan sebagai dâr al-Islâm. Sebagian ulama melihat hal itu dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang melihat dari sisi keamanan warganya dalam menjalankan Syari'at Islam. Sementara ada ulama lain yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut.
Imam Abu Yusuf (w. 182 H.), tokoh besar madzhab Hanafi, berpendapat bahwa suatu negara dapat disebut sebagai dâr al-Islâm apabila di dalamnya telah berlaku hukum Islam, meskipun mayoritas warganya bukan Muslim. Sementara dâr al-harb (lawan dâr al-Islâm) menurutnya adalah negara yang tidak memberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.

Al-Kisani (w. 587 H.), juga ahli fqih madzhab Hanafi, memperkuat pendapat Imam Abu Yusuf. Menurutnya, dâr al-harb bisa menjadi dâr al-Islâm apabila negara tersebut memberlakukan hukum Islam. Dalam pemikiran modern, pandangan demikian juga dianut oleh Sayyid Quthb (w. 1387 H.). Tokoh gerakan Islam al-Ikhwân al-Muslimîn ini memandang bahwa negara yang menerapkan hukum Islam dapat disebut sebagai dâr al-Islâm, tanpa mensyaratkan penduduknya harus Muslim atau bercampur baur dengan ahl al-dzimmi.

Al-Rafi'i (w. 623 H.), salah seorang tokoh fiqh madzhab Syafi'i, menjadikan alat ukur untuk menentukan apakah sebuah negara disebut dâr al-Islâm atau dâr al-harb dengan mempertimbangkan agama para pemegang kekuasaan dalam negara tersebut. Suatu negara dipandang sebagai dâr al-Islâm apabila dipimpin oleh seorang Muslim, demikian sebaliknya.
Sedangkan Imam Abu Hanifah (80-150 H.) membedakan dâr al-Islâm dan dâr al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati oleh penduduknya yang beragama Islam.  Apabila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktifitas keagamaanya, maka negara tersebut termasuk kategori dâr al-Islâm. Sebaliknya, apabila tidak ada rasa aman untuk umat Islam, maka negara itu masuk dalam kategori dâr al-harb.

Sementara Ibn Qayyim al-Jawziyah (w. 751 H.) berpendapat bahwa dâr al-Islâm adalah negara yang wilayahnya didiami oleh (mayoritas) umat Islam dan hukum yang berlaku di negara tersebut adalah hukum Islam. Apabila kedua unsur ini tidak terpenuhi, maka negara itu bukan dâr al-Islâm.
Apabila berbagai tolok ukur ini digabungkan secara kumulatif, maka dâr al-Islâm adalah negara yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, dipimpin oleh orang Islam, dan di dalamnya diberlakukan Syari'at Islam secara aman.  Itulah sebabnya Javid Iqbal dalam tulisannya, The Concept of State in Islam, menyatakan bahwa dâr al-Islâm adalah negara yang pemerintahannya dipegang oleh umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam, dan undang-undangnya menggunakan hukum Islam.

Sebaliknya, tolok ukur minimal "negara Islam" adalah bisa dilaksanakannya Syari'at Islam dalam suatu negara dengan aman, tanpa mempertimbangkan mayoritas penduduknya beragama Islam dan pemimpin negaranya beragama Islam atau tidak. Artinya, keamanan menjalankan Syari'at Islam tidak mesti berhubungan dengan agama yang dianut oleh kepala negara mayoritas agama penduduknya. Sehingga, Syari'at Islam bisa saja dilaksanakan di suatu wilayah yang dipimpin oleh kepala negara yang non-Muslim. Dan karenanya, suatu wilayah bisa disebut dâr al-Islâm meskipun tidak dipimpin oleh orang Islam sepanjang Syari'at Islam bisa dijalankan dengan aman.

Tolok ukur ini digunakan oleh NU dalam muktamarnya di Banjarmasin pada tahun 1935. Keputusan NU ini sejalan dengan pandangan yang berkembang di dalam madzhab Syafi'iyyah, yakni pendapat Imam Nawawi. Menurut Imam Nawawi, dâr al-Islâm yang telah dikuasai oleh non-Muslim tetap dipandang sebagai dâr al-Islâm apabila umat Islam masih tetap bermukim di dalamnya. Artinya, dâr al-Islâm yang kemudian dikuasai oleh non-Muslim tidak berubah status menjadi dâr al-harb apabila orang Islam yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk melaksanakan Syari'at agamanya. Akan tetapi, jika penguasa non-Muslim tersebut menghalangi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, maka status dâr al-Islâm berubah menjadi dâr al-harb.
Dengan logika ini, mempertahankan keberadaan Indonesia dan mengisinya dengan persatuan-kesatuan, kedamaian, kerukunan, dan lebih-lebih keadilan-kemanusiaan menjadi sangat penting bagi Nahdlatul Ulama.

Ini paralel dengan paradigma berfikir yang digunakan KH. A. Wahid Hasyim, wakil NU, pada masa-masa genting perumusan dasar negara Indonesia yang akan diproklamasikan pada Agustus 1945. Meskipun KH. A. Wahid Hasyim ikut menyusun Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, namun demi menjaga keutuhan bangsa akibat keberatan-keberatan penduduk dari Indonesia Timur yang tidak beragama Islam, pada tanggal 18 Agustus 1945 KH. Wahid Hasyim ikut menyetujui dihapuskan kalimat "dengan kewajiban menjalankan sjari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dari  Mukaddimah UUD. Sebagai gantinya, KH. Wahid Hasyim mengusulkan agar diganti dengan rumusan "Ketuhanan Yang Maha  Esa." Kata "Esa" menggarisbawahi keesaan Tuhan (tauhid) yang tidak terdapat pada agama lain.

Atas nalar ini pula, NU secara tegas menolak gagasan dan kehadiran Negara Islam Indonesia (NII) yang didirikan oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat (7 Agustus 1949), Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (1952), Daud Beureuh di Aceh (1953), dan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan (1953). Ulama NU memberikan keputusan fiqh kepada Kartosuwiryo sebagai pelaku bughat (pemberontak kepada negara yang sah) akibat pemikiran dan gerakannya itu.

Pengakuan NU terhadap Pemerintahan yang sah  dilakukannya pada Konferensi Nasional Alim Ulama NU di Cipanas pada 1954. Keputusan Konferensi Alim Ulama yang kemudian dikukuhkan oleh Keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya, 8-13 September 1954, memutuskan bahwa kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno) dan alat-alat negara sebagai waliy al-amri al-dlarûri bi al-syawkah (penguasa pemerintahan yang mengikat sebab kekuasaannya, atau pemegang pemerintahan de facto dengan kekuasaan penuh).  Keputusan ini dilakukan secara sadar untuk membentengi rongrongan pemberontak yang bermaksud menggantikan Pancasila sebagai dasar negara.

Dengan rangkaian nalar ijtihad politik keagamaan ini, "Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam" dirumuskan oleh ulama NU sebagai Keputusan Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo. Keputusan ini sebetulnya mengakhiri perdebatan paradigmatik tentang hubungan agama dan negara di Indonesia, sekaligus memperkuat basis teologis penerimaan NU atas kenyataan negara-bangsa (nation state) yang pluralistik dan demokratik. NU mendukung kenyataan ini sebagai ijtihad politik yang tepat.
KH Achmad Siddiq, tokoh intelektual di balik  Deklarasi tersebut, mengemukakan bahwa Pancasila dan Islam sebagai dua kesatuan yang terpisah, namun tidak saling bertentangan: Pancasila adalah ideologi, sedangkan Islam adalah agama.  Kyai Achmad lebih lanjut mengatakan:

"Dasar negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain."
Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1983 menegaskan pemikiran politik keagamaan NU dalam  merekonsiliasi Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara dengan Islam sebagai agama dan aqidah. NU secara eksplisit menjelaskan dasar negara yang dimaksud, yakni Pancasila yang ber"Ketuhanan Yang Maha Esa" tanpa tambahan "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
"Mengenai Pancasila, NU berpendapat bahwa sesungguhnya rumusan nilai-nilai yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia sudah tuntas dengan ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Semua fihak harus hanya memahami (memiliki persepsi tentang) dasar negara menurut bunyi dan maknanya yang terkandung dalam UUD 1945 (pembukaan, batang tubuh dan penjelasannya) itu.

Bagi saya, penerimaan total NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dan menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai bentuk final menunjukkan bahwa ijtihad NU dalam konteks pencarian negara-bangsa dewasa ini telah titik. NU sudah tidak membutuhkan bentuk negara lain, meskipun menggunakan label Islam, Syari'ah, atau Islamiyyah. Negara Pancasila yang berketuhanan, berkemanusiaan, berkeadilan sosial, berkeadaban, bersatu, demokratis, dan bijaksana dalam melindungi seluruh warga Indonesia yang pluralistik--dalam pemahaman saya atas nalar fiqh politik NU--adalah "Negara Islam" itu sendiri. Inilah salah satu sumbangan terbesar yang monumental  dalam seabad sejarah NU kepada bangsa Indonesia dan dunia Islam.
Evolusi kerangka pemikiran keagamaan NU tentang hubungan agama dan negara di Indonesia, yakni hubungan Islam dan Pancasila, secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :

Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin, 9 Juni 1935
NU memberikan status negara Indonesia yang saat itu masih dikuasai oleh Pemerintah Penjajah Belanda dengan "dar al- Islam" (negeri Islam).
Rais Akbar KH. M. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa "Resolusi Djihad" yang mewajibkan setiap orang (fardlu ‘ain) dalam radius 94 km untuk melakukan jihâd fiy sabîlillâh melawan Tentara Sekutu dan NICA dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Muktamar ke-16 NU di Purwokerto, 26-29 Maret 1946
Menetapkan dan mengesahkan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 sebagai keputusan NUyang memiliki kekuatan hukum mengikat bagi warga NU
22 Oktober 1945

Muktamar ke-20 NU di Surabaya, 8-13 September 1954
Menetapkan hasil Konferensi Nasional Alim Ulama NU di Cipanas pada 1954 yang memutuskan bahwa kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno) dan alat-alat negara sebagai waliy al-amri al-dlarûri bi al-syawkah.
KH. A. Wahid Hasyim, wakil NU, ikut menyetujui penghapusan 7 kata Piagam Jakarta "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Mukaddiman UUD 1945.
18 Agustus 1945

Muktamar ke-27 NU di Situbondo, 8-12 Desember 1984.
Mengukuhkan keputusan Musyawarah Alim Ulama Nasional NU 1983 yang memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara yang final dalam Islam.
KH. Idham Cholid, Ketua Tanfidhiyah PBNU, dan KH. Saefuddin Zuhri, Sekretaris PBNU,  menyetujui Dekrit Presiden untuk "Kembali kepada UUD 1945" dengan meminta agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945.
Menjelang dikeluarkan Dekrit Presiden, Juli 1959

Sebagai implementasi penerimaan NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Anggaran Dasar NU pun sejak 1984 berubah sesuai dengan paradigma tersebut. Ada hal yang menarik untuk dicatat dari perkembangan Anggaran Dasar NU dari muktamar ke muktamar.
Dalam Anggaran Dasar NU hasil Muktamar ke-27 di Situbondo, 8-12 Desember 1984, asas NU berubah dari Islam menjadi Pancasila. Dalam rumusan ini dibedakan antara "asas" dan "aqidah". Islam ditempatkan sebagai aqidah, bukan asas. Sedangkan asas diisi dengan Pancasila. Secara lengkap rumusan itu sebagai berikut:

Pasal 2
Asas
Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila

Pasal 3
Aqidah
Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama'ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
Dibandingkan dengan Muktamar Situbondo, rumusan Anggaran Dasar NU pada Muktamar ke-28 di Krapyak, 25-28 Nopember 1989, dan Muktamar NU ke-29 di Cipasung Tasikmalaya, 1-5 Desember 1994, terdapat perubahan penempatan "asas" dan "aqidah". Rumusan "aqidah" ditempatkan di atas rumusan "asas", sebagaimana dikutipkan secara lengkap sebagai berikut:
Bab II Aqidah

Pasal 3
Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama'ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.

Bab III Asas
Pasal 4
Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila
Rumusan Anggaran Dasar ini tampak berbeda dengan rumusan Anggaran Dasar NU tahun 1952 dan 1979 yang masih menjadikan Islam sebagai asas, sebagaimana terbaca dalam kutipan berikut :

Anggaran Dasar Partai "Nahdlatul ‘Ulama" Tahun 1952
Pasal 2 Azas dan tudjuan
Nahdlatul-‘Ulama berazas Islam dan bertudjuan:
a.     menegakkan Sjari'at Islam, dengan berhaluan salah satu dari pada 4 madzhab: Sjafi'ie, Maliki, Hanafi, dan Hambali.
b.     melaksanakan berlakunja hukum-hukum Islam dalam masjarakat.

Anggaran Dasar Nahdlatul-‘Ulama (Keputusan Muktamar ke-26  NU di Semarang Tahun 1979)
Pasal 2 Asas dan tujuan
1.     Nahdlatul-‘Ulama berasaskan Islam.
Pasal 3 Landasan perjuangan
Landasan perjuangan Nahdlatul-‘Ulama adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Sedangkan pada Muktamar paling akhir, Muktamar XXX di Lirboyo Kediri, tanggal 21-26 Nopember 1999, rumusan "aqidah" dan "asas" digabung dalam satu bab dan pasal, dengan perubahan substansi yang sangat mendasar, bahwa aqidah dan asas NU adalah Islam. Rumusan ini seolah mengulang rumusan AD NU sebelum Muktamar 1984. Secara lengkap rumusan tersebut sebagai berikut:

Bab II Aqidah/Asas
Pasal 3
Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama'ah dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika kita cermati satu rumusan Anggaran Dasar NU dari muktamar ke muktamar paska-1984, maka tampak terdapat perubahan, bukan saja pada penempatan "asas" dan "aqidah" melainkan juga pada rumusan substanstif. Perubahan ini adalah konsekuensi dari dinamika pemikiran yang bergolak di dalam lingkungan NU. Akan tetapi, perubahan rumusan Anggaran Dasar ini ternyata tidak diikuti dengan pencabutan keputusan Muktamar Situbondo yang menetapkan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia. Ini artinya, sikap dasar NU terhadap negara Pancasila tetap tidak berubah, tetapi karena tuntutan euphoria politik eksternal saat Muktamar Lirboyo yang memaksa menjadikan Islam sebagai alternatif dari krisis multidimensi, NU mencoba melakukan adaptasi-adaptasi secukupnya. Adaptasi ini dilakukan dengan memodifikasi rumusan Anggaran Dasar NU.

Sikap Kebangsaan Nahdlatul Ulama
Konsekuensi dari penerimaan terhadap negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dalam kebutuhan praktis dan strategis  menumbuhkan sikap kebangsaan Nahdlatul Ulama dari faham keagamaan yang selama ini digeluti, yakni sikap yang tercermin dari nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama'ah. Di antara sikap ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.   Sikap Tawasuth dan I'tidal
Yakni, suatu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah  kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini seharusnya dapat menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
2.   Sikap Tasamuh
Yakni, sikap toleran dan menghargai terhadap perbedaan pandang, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu' atau menjadi masalah khilafiyyah serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
3.   Sikap Tawazun
Yakni, sikap seimbang dalam berkhidmah. Dalam hal ini adalah sikap menyerasikan khidmah kepada Allah  SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya, dan menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
4.   Amar Ma'ruf dan Nahy Munkar
Yakni, sikap selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Implementasi sikap dasar kebangsaan ini dalam bidang politik-kekuasaan ditegaskan oleh Keputusan Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta bahwa NU sebagai suatu organisasi sosial-keagamaan (jam'iyyah diniyyah ijtimâ'iyyah) tidak mempunyai ikatan organisatoris dalam bentuk apapun dengan organisasi kekuatan sosial politik yang manapun juga. NU tidak akan menggabungkan diri secara organisatoris ke dalam organisasi sosial politik yang manapun, tetapi juga tidak akan bersikap menentang organisasi sosial politik yang manapun juga, dan tidak akan menjadi partai politik sendiri.
Dengan sikap politik seperti ini, NU diharapkan selalu terlibat dalam setiap upaya pengembangan budaya politik yang sehat dan bertanggungjawab agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, serta membangun mekanisme musyawarah-mufakat dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Oleh karena itu, NU menetapkan prinsip-prinsip dasar etika politik bagi warganya sebagai berikut:
1.     Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2.     Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akherat.
3.     Politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4.     Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya  yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indoensia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijkasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan.
5.     Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6.     Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsesus nasional, dan dilakukan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaa'ah.
7.     Berpolitik bagi NU, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8.     Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu', dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.
9.     Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi, serta berpartisipasi dalam pembangunan.


Kalam Akhir
Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fiqh, NU ternyata mampu melakukan proses penyesuaian dengan tuntutan negara modern sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tuntutan ini tidak saja menyentuh pada kebutuhan eksistensial belaka, tetapi juga pada aras substansial-paradigmatik bagi tatanan kehidupan bersama yang rukun, damai, demokratis, menghargai pluralitas, dan senantiasa bertumpu pada kerangka dasar keadilan sosial. Tawassuth, tawâzun, ta'âdul, dan tasâmuh merupakan prinsip dasar bagi NU dalam menyelesiakan berbagai masalah kontemporer.
Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia.  Selain karena tuntutan global, negara-bangsa merupakan konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi kenyataan pluralisme.

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia telah menawarkan suatu penyelesaian teologis yang cemerlang melalui fiqh politik dalam hubungan Islam dan Pancasila. Penalaran fiqh politik ini tampaknya dapat menjadi pedoman atau paling tidak inspirasi bagi organisasi keagamaan lain yang masih gamang menghadapi kenyataan modernitas (negara-modern) dan masih berromantisme ria dengan model khilafah Islamiyyah, sesuatu yang imposible diterapkan pada zaman sekarang.

Keberhasilan NU dalam memberikan penyelesaian paradigmatik relasi agama dan negara ini mengindikasikan adanya pergeseran paradigma di kalangan NU sendiri dalam memandang kenyataan negara-bangsa. Baik pada aspek siyâsah, maupun aspek hukum dan peradaban, transformasi pemikiran di kalangan NU terus menggelinding secara dinamis.
Tidak diingkari bahwa masyarakat NU adalah masyarakat fiqh. Ini tidak lain karena masih dominannya kalangan pesantren di jajaran NU, sementara paradigma pesantren identik dengan fiqh. Dengan kata lain, NU adalah pesantren-makro, dan pesantren adalah NU-mikro. Akan tetapi mempertimbangkan kenyataan pemikiran di atas, saya kira tidak berlebihan jika dicatat bahwa di dalam kalangan NU tengah terjadi perubahan paradigma fiqh yang sangat transformatif dari literalisme ke kontekstualisme, dari skripturalisme ke substansialisme, dan dari madzhab qawli ke madzhab manhaji.

Komentar
Menurut saya, anggapan orang bahwa NU konservatif, ortodoks, mundur dalam berfikir, menutup pintu ijtihad, dan sejumlah stereotyping lain yang memposisikan NU dalam kubangan "kejumudan" dan "ketertinggalan," dengan penjelasan nalar di atas, kiranya segera dipertimbangkan kembali. NU memang tradisional dan berpegang teguh pada kekayaan warisan intelektual klasik, tetapi senantiasa bersikap kritis dalam merespon setiap denyut perkembangan zaman dan kenyataan sosial yang terus terjadi tanpa henti. Pergulatan pemikiran NU sangat dinamis dan kontekstual mengikuti perkembangan zamannya.  Wallâhu A'lam bi al-Shawâb.
Penulis: Falinda Oktariani, diambil dari tugas mata kuliah PPKn

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons